Ketika dunia dilanda tantangan besar untuk mengubah segalanya ke ranah digital, masyarakat dunia masih memandang sebelah mata dunia mode yang hingar-bingar sekaligus konservatif.
Pandemi telah menghantam kita, dan ia menghantam tanpa pandang bulu. Fesyen, salah satu di antaranya, juga menghadapi krisis yang barangkali tak pernah mereka sangka-sangka. Bain & Company memprediksi bahwa bisnis luxury seperti fesyen takkan bangkit hingga tahun 2022 atau 2023. Salah satu grup luxury terbesar, LVMH kehilangan profit sebesar 84% pada paruh pertama 2020.
Selagi penduduk dunia menutup pintu dan tinggal di tempat masing-masing, memang tak banyak yang bisa ditawarkan sepasang kitten heel manis dari Dior atau trench coat terbaru Burberry, misalnya. Lupakan perhelatan fesyen yang elite dan tertutup—kini merekalah yang mesti mengetuk pintu rumah penduduk dunia dan menjajakan apa yang mereka bisa.
BACA JUGA: Bagaimana Bisnis High Fashion Runtuh dan Bangkit Melawan Pandemi
Perihal ini pun bukan urusan mudah sebab pada eksklusivitas itulah nilai dari fesyen berada. Tanpanya, ia bagai runway tanpa penonton—kaku, kelam, dan tak bernyawa. Ia adalah bisnis konservatif yang mengandalkan pengalaman fisik langsung untuk dapat dinilai berharga; sebut saja pekan mode, pengalaman berbelanja di butik, gala dinner lengkap dengan karpet merah. Di ranah digital, ia bak macan kehilangan taringnya.
Hingga detik ini, belum ada usaha yang benar-benar mengguncang bagaimana industri fesyen bekerja di era pandemi. Virtual fashion show tidak akan pernah seseksi pengalaman menonton pertunjukan mode secara langsung. Meskipun e-commerce berhasil mengganjal pemasukan, proporsi pembeli ritel daring tetap tidak melewati batas rata-rata 15% dari total penjualan.
Meski demikian, hidup terus berjalan. Pada akhirnya, fesyen mesti bergabung ke bandwagon digital dan hadir dalam format digital seperti virtual fashion show dan virtual campaign. Tentu, tidak semudah itu.
Tiongkok membuka jalan untuk pekan mode digital pertama pada awal tahun ini, ketika pandemi mulai merebak ke sudut-sudut dunia. Tak lama kemudian, London menjajal Digital Fashion Week pertama mereka. Terakhir, Milan Digital Fashion Week baru saja berakhir pekan lalu.
Meskipun pekan mode di Tiongkok bisa terbilang sukses, tidak demikian di ibu kota mode. nyaris tidak ada nama besar sebagai headline di London Digital Fashion Week bulan Juni lalu. Kampanye virtual pun tampak culun dan hambar, selayaknya video kampanye Chanel untuk koleksi Resort 2021 yang jelek saja belum. Belum lagi Dior dan segala macam kampanye digitalnya yang amat berusaha relevan untuk Gen Z—mulai dari podcast, filter Instagram, akun TikTok resmi, hingga kursus balet di YouTube. Hah?
BACA JUGA: TikTok Hingga Podcast: Cara Dior Manfaatkan Tren Digital di Tengah Pandemi
Beruntung, sebagian besar dunia sudah terburu-buru memasuki New Normal. Headliner di Milan Digital Fashion Week memiliki lebih banyak keleluasaan untuk tetap menjalankan fashion show dgn mengikuti ketentuan protokol kesehatan —sebut saja Etro dan Dolce & Gabbana. Gucci tidak mengulang kesalahan brand lain dan hadir dengan video lookbook bergaya retro yang fun. Versace hadir dengan film mokumenter pendek yang unik. Milan otomatis menjadi ibu kota fesyen dengan buzz tertinggi dalam rangkaian Digital Fashion Week.
Meskipun demikian, sepertinya total Earned Media Value (EMV) senilai €10.7 juta (Rp185 miliar) dari digital fashion week di London, Paris, dan Milan tidak cukup untuk menutup koreng finansial besar bagi industri bernilai miliaran Euro ini.
BACA JUGA: London Fashion Week Digelar Virtual untuk Pertama Kali, Seperti Apa?
Pasalnya, dalam waktu dekat ini fesyen tidak akan mengambil risiko terlalu besar di ranah digital. Setelah setengah tahun mati suri, Fédération de la Haute Couture et de la Mode memutuskan untuk tetap menghelat pergelaran mode fisik untuk musim pekan mode September depan di Paris. Pun demikian dengan kota-kota lain di musim depan. Butik-butik pun sudah kembali berlomba-lomba menawarkan pengalaman belanja yang tak hanya luar biasa namun juga aman dalam acuan kesehatan. Bahkan, Chanel bisa cukup percaya diri untuk membuka butik musiman di lokasi liburan terbaik dunia seperti Capri, walaupun entah berapa banyak juga turis yang sudah melalang buana di era pandemi ini.
Ini boleh jadi hanya kecurigaan, tapi setidaknya merupakan kecurigaan terpelajar. Masalah dari dunia fesyen bukanlah pandemi atau transisi terengah-engah dari revolusi digital itu sendiri. Keduanya adalah pengkonteks yang menunjukkan betapa rapuh dan kagoknya bisnis fesyen itu sendiri di depan pergeseran zaman, terlepas dari gemerlap yang ia tawarkan.
Terserah apakah Maria Grazia Chiuri akan selalu meromantisasi gerakan sosial hingga feminisme—kita sama-sama tahu bahwa karyanya bersama Dior hanya menjual jargon kontribusi sosial kepada kaum yang lebih suka membaca tulisan di kaus dibandingkan buku sebenarnya. Terlepas dari konten-konten digital yang dicetuskan dari brand-brand besar, ia akan tetap terlihat canggung sebab ia kukuh mempertahankan imej super eksklusifnya. Padahal, kita juga sama-sama tahu bahwa inti dari konten digital adalah memangkas jarak antara pembuat konten dan audiens yang memang terbatas, bukannya justru menambah jarak tersebut dengan pemilihan konten fesyen totok yang impersonal.
Kembali lagi, fesyen mewah adalah industri yang boros dan enggan berubah. Padahal, andai kita bisa mensimplifikasi koleksi musiman yang seakan ada selusin setahun itu, sampah tekstil yang dihasilkan akan jauh lebih efektif dibanding sekadar mendaur ulang bahan, layaknya yang dilakukan Gabriela Hearst. Toh, semua produksi berlebih tidak akan didiskon dan kebanyakan segera dimusnahkan di era ekonomi lesu seperti saat ini. Sekarang, dengan musim yang terus berjalan, entah resort, pre-fall, fall/winter, couture, dan lain sebagainya sementara konsumsi barang mewah terus merosot, ke mana sisa-sisa koleksi akan dibawa?
Industri fesyen mewah, layaknya industri otomotif kaliber tinggi, tak akan benar-benar bisa mengandalkan e-commerce yang masif sebagai pengganti kampanye offline. Toh, selama berdekade-dekade mereka memang kekeuh menjual pengalaman eksklusif yang tidak bisa, bahkan tidak boleh, dirasakan semua orang. Akrobat digital mereka belakangan ini bukan hanya terlambat, namun juga tidak tepat sasaran. Buzz digital tidak dapat menjamin ukuran pasar yang akan membelinya. Menonton video kampanye digital yang membosankan selama 15 menit di layar ponsel jauh lebih tidak menarik ketimbang menghadiri sebuah fashion show. Setidaknya, terdapat eksklusivitas dan nilai sosial dari menghadiri event yang dapat menjustifikasi strata sosialnya kepada khalayak.
Eksklusivitas itu kemudian dikuatkan dengan peran endorsement di karpet merah acara-acara akbar, yang tahun ini juga lesu. Tak semua brand bisa bekerja seperti Hermes, misalnya, yang memang tidak mengandalkan endorsement dalam memasarkan produknya. Kembali lagi, buzz yang diperoleh endorsement digital pun tidak bisa menjamin dongkrakan penjualan sebab pasar mereka masih amat bergantung kepada pergaulan konservatif kalangan elite, baik tua maupun muda.
Kalaupun fesyen ingin serius membuat gebrakan di era digital, ia mesti mampu menawarkan pengalaman yang sama edgy dan eksklusifnya dengan menonton langsung fashion show atau menghadiri pesta preview koleksi. Ia juga mesti bergeser dari glamoritas tak berdasar menjadi industri yang sensitif atas isu-isu global maupun regional serta menetapkan sistem produksi yang efisien seperti mengurangi musim dan mengedepankan koleksi kapsul, akuisisi label, dan mendefinisi ulang kemewahan dari penjamin status sosial ke arah investasi yang berkepanjangan.
Di antara berjibun label dan koleksi yang terus-menerus diperbarui, kita tidak benar-benar butuh fashion item terbaru yang sudah direkonstruksi berulang-ulang; kita ingin mengetahui apakah kita telah mengeluarkan uang kita untuk yang terbaik dari berbagai aspek yang tak hanya terbatas pada labelnya saja. Suka atau tidak, inilah masa depan industri luxury.
Di masa depan, tantangan industri fesyen toh, bukan hanya pandemi. Ia mesti bersaing dengan Gen-Z yang lebih suka menjadi “labelnya sendiri”, pembeli muda yang kritis, dan membaca pasar terbesar mereka, yakni Asia Timur. Dengan kata lain, industri fesyen mewah mesti “dipaksa” untuk jadi lebih relevan dari segi antropologis maupun ekologis.
Memang, tanpa adanya perubahan radikal dalam bagaimana industri fesyen bekerja, peralihannya ke ranah 4.0 hanya akan berakhir sebagai gimmick semata—layaknya banyak transisi digital di ranah bisnis lainnya. Fesyen adalah seorang pecandu eksklusivitas yang tak akan pernah lepas dari iman konsevatifnya. Dunia digital yang terlalu inklusif dan cepat bergerak bukanlah habitat alaminya.
Ke depannya, barangkali kita baru akan bisa menemukan kebijakan yang benar-benar bekerja di dunia digital dan era pandemi bagi industri mode yang boros dan inefisien. Barangkali kita akan punya lebih sedikit musim dibandingkan selusin musim koleksi per tahun yang hanya menimbulkan ekses sampah.
Dari segi pengalaman digital pun, kita berharap dapat disuguh hal yang lebih menarik ketimbang nonton live streaming. Barangkali, nantinya kita akan kedatangan butik virtual di mana kita bisa mencoba langsung pakaian yang dipilih dalam format visual. Atau mungkin, nantinya pergelaran fesyen bisa dilakukan dalam format hologram life size. Lalu, yang terpenting, barangkali industri fesyen nantinya bosan akan eksklusivitasnya yang boros dan memperkenalkan konsep mewah baru yang timeless, efisien, dan relevan.
Barangkali juga, nantinya fesyen akan bukan hanya pura-pura relevan dengan isu dan permasalahan yang terjadi dunia, namun juga berani menjadi solusi atas permasalahan yang mereka ciptakan sendiri.