Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjadi salah satu perwakilan generasi muda saat ini yang berani dan tak pernah lelah mengutarakan ide dan gagasan, serta aksi nyata untuk kemajuan negara dan rakyatnya.
Di tengah kesibukannya, perempuan multi-tanlenta Rahayu Saraswati Djojohadikusumo tetap menikmati hari-harinya. Sara, sapaan akrabnya, nampaknya tak mempermasalahkan hal tersebut asalkan bisa membawa dampak positif bagi negaranya tercinta. Ia sangat gencar berbicara mengenai advokasinya, khususnya dalam memerangi isu-isu perdagangan manusia dan pelecehan seksual, serta memperjuangkan kesejahteraan perempuan dan anak-anak Indonesia; juga menjadi istri dan ibu dari tiga orang anak, serta menjalankan usaha budidaya perikanan khususnya produksi mutiara.
Sara pertama kali mendengar tentang perdagangan manusia di sebuah konferensi di London pada tahun 2009. Mendengar bahwa ada perempuan dan anak-anak diperdagangkan, dan gadis remaja yang harus melayani 50-60 laki-laki setiap hari benar-benar menghancurkan hatinya. . Kenyataan pahit ini membuka matanya lebar-lebar, di mana para korban tidak bisa lepas dari jerat pelaku perdagangan manusia. Trauma yang dialami korban secara fisik dan psikis, serta kasus perbudakan ilegal yang melanggar hak asasi manusia, semakin meningkat dari tahun ke tahun.
“Dari situlah saya mengetahui tentang perdagangan manusia. Kemudian saya pulang ke Indonesia dan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang masalah tersebut. Saya pergi ke Surabaya dan menemukan ada seorang gadis berusia 12 tahun yang baru saja diselamatkan polisi. Mereka pun bertanya kepada saya setelah itu apakah saya memiliki tempat penampungan untuk gadis-gadis muda yang diperdagangkan tersebut. Gadis malang yang berusia 12 tahun tadi telah diperdagangkan sejak ia berusia 8 tahun, dan hal ini sangat mengenaskan, bukan? Itulah awal mula saya ikut serta dalam perjuangan melawan perdagangan manusia,” ujarnya.
Pada tahun 2012 ia mendirikan Parinama Astha (Partha Foundation) sebagai bagian dari perjalanannya dalam memberikan suara kepada mereka yang tidak dapat bersuara, yang dalam hal ini adalah para korban perdagangan manusia. Parinama Astha yang dalam bahasa Sansekerta berarti 'Transformation into Hope' didirikan dengan harapan dapat memberantas kasus-kasus tersebut, khususnya di Indonesia. “Di Partha, kami memprakarsai jaringan nasional anti-perdagangan manusia pada tahun 2018, sehingga kami dapat mengumpulkan jaringan aktivis dan organisasi yang memang bersama-sama perjuangan ini, untuk memastikan kita semua berhubungan satu sama lain,” tambah Sara. “Begitulah cara kami meningkatkan kesadaran, menciptakan jaringan, dan memastikan semakin banyak orang, terutama generasi muda, mengetahui isu ini, karena ini adalah isu yang sudah makin parah dan tentunya penting untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia saat ini.”
“Spiritual injustice saya adalah ketidakadilan. Saya tidak tahan melihat ketidakadilan di dunia ini. Saya tahu bahwa saya memiliki platform untuk menyuarakan kaum yang terabaikan ini. Banyak dari isu-isu enggelam dalam drama sehari-hari yang terjadi di media sosial atau media tradisional. Kecuali ada kasus yang menjadi viral, sangat jarang kenyataan yang dialami oleh banyak saudara dan saudari kita yang menjadi sorotan. Saya berharap dapat meningkatkan awareness orang-orang dan mengajak mereka untuk melakukan sesuatu.”
Berbicara tentang karakter Alpha dalam hal kepemimpinan, apa yang dimaksud dengan Alpha menurut Sara? “Saya percaya pada pemimpin yang mau melayani. Value saya berasal dari keyakinan saya, dan keyakinan saya telah mengajarkanku bahwa untuk menjadi yang pertama, kamu harus menjadi yang terakhir. Artinya kalau mau dilayani, harus melayani dulu. Menurut saya, seorang Alpha berarti memimpin dengan memberi contoh. Anda berjalan dengan percaya diri dan Anda berjalan dengan respect yang Anda peroleh, bukan respect yang Anda tuntut,” jelasnya.
Mengakhiri wawancara dengan perbincangan tentang passion-nya di dunia seni, yaitu akting, Sara saat ini sedang menantikan proyek baru setelah ia menyelesaikan penampilan teaternya awal tahun ini, pertunjukan 'Ariyah dari Jembatan Ancol', bersama dengan Chelsea Islan, Mikha Tambayong dan Ario Bayu. “Ada beberapa pembicaraan mengenai beberapa proyek. Semoga tahun depan Anda bisa melihat saya tidak hanya di teater, tapi juga di layar lebar lagi dalam waktu dekat. Itu masih menjadi passion saya dan merupakan bagian dari DNA saya. Kepada para produser di luar sana, saya akan dengan senang hati menjalani audisi,” pungkasnya sambil tertawa.