Tenun yang dihasilkan para perempuan penenun gedogan (backstrap) asal Indonesia membawa banyak sejarah dan cerita.
Jika Batik telah mendapatkan berbagai pengakuan internasional sebagai karya Indonesia, berbeda dengan tenun dengan teknik dan motif gedogan belum begitu dikenal oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun pada kenyataannya Tenun Gedogan memiliki nilai sejarah asli Indonesia yang dapat lebih jauh dieksplorasi untuk mendapatkan pengakuan serupa. Yang menarik, setiap motif tenun memiliki makna, nilai penting, dan tujuan tertentu yang sudah ada setidaknya sejak 100 tahun lalu. Dari 300 suku dan masyarakat adat yang ada di Indonesia, hampir seluruhnya membanggakan tenun gedogan yang dilakukan oleh perempuan dari masyarakat tersebut.
Tenun sendiri memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat adat pedesaan. Tenun dapat menjadi pakaian adat resmi untuk upacara, tikar untuk berbaring atau duduk, pelindung dari panas dan hujan, dan juga tas gulung untuk menyimpan hasil bumi saat mereka kembali dari bertani atau aktivitas sehari-hari lainnya. Teknik dan motif tenun juga memiliki beberapa istilah yang berbeda yang dipengaruhi oleh bahasa dan dialek setempat. Misalnya sebutan Mowak, untuk tenun asal Lembata, Sotis dari Soe, Sungki' dari Mamasa, Pa'bunga dari Toraja, dan Jok dan Ngencung dari Manggarai.
Kain tenun dibuat dengan cara menggabungkan benang lungsi dan benang pakan secara bergantian dengan menggunakan alat yaitu gedogan dan alat tenun manual. Menenun dengan gedogan adalah teknik kuno di mana lungsi dipasang di satu ujung ke badan penenun dan di ujung lainnya ke benda padat seperti pohon atau tiang. Berat tubuh penenun membuat benang lungsi tetap kencang. Proses pembuatan kain tenun dengan proses ini cukup rumit dan detail serta seringkali memakan waktu hingga berbulan-bulan untuk menghasilkan sebuah warisan berharga.
Sebagai usaha sosial gaya hidup lambat (slow lifestyle social enterprise) yang berfokus pada pelestarian kain tenun gedogan, TORAJAMELO, dengan dukungan dari Sarinah Duty Free, bertujuan untuk memperkenalkan karya tenun sebagai salah satu warisan nusantara ke pasar global. Mereka bertujuan untuk melanjutkan visinya, yaitu untuk mengurangi kemiskinan sistemik melalui pembangunan ekosistem yang berkelanjutan bagi perempuan penenun di seluruh Indonesia dan dunia. Saat ini, TORAJAMELO telah bekerja sama dengan 1100+ penenun perempuan dari berbagai kelompok masyarakat di Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur, termasuk Manggarai.
Menenun memiliki nilai yang tinggi bagi perempuan Manggarai, dan dilakukan terus-menerus secara turun temurun. Penenun Manggarai, khususnya yang berasal dari Cibal, dikenal dengan teknik menenun Songke. Tenun Songke ini bercirikan menggunakan warna dasar hitam untuk melambangkan keagungan Mori Kraeng yang berarti Tuhan dalam bahasa asli Manggarai. Selain itu, tenun ini menggunakan warna-warna cerah seperti merah, putih, oranye, dan kuning untuk penyempurnaan.
Beberapa saat lalu, para ahli tenun perempuan dari Manggarai ini memperlihatkan kepiawaian mereka dalam menenun kain asli mereka, dari bagaimana mereka melilit dan kemudian bagaimana mereka menenun kain berseni tinggi di Sarinah Duty Free. Pengunjung yang hadir dapat menyaksikan proses tenun secara langsung dan berbincang dengan para penenun perempuan tentang kehidupan mereka dan kisah di balik kegiatan menenun itu sendiri. Hal ini tentunya merupakan kesempatan langka bagi publik untuk mengakses dan belajar tentang komunitas dan praktik tenun secara langsung.