“Tari bukanlah sesuatu yang hadir di ruang kosong, selalu ada sesuatu yang melatarinya. Narasi bertujuan agar Igal Jongkok dapat dipercakapkan secara kritis, tidak semata-mata menjadi tari yang monumental saja, tetapi juga bagaimana generasi hari ini dapat direfleksikan melalui karya-karya yang tercipta.”
Setelah sebelumnya menghadirkan festival musik (Salihara Jazz Buzz) dan teater (Helateater), Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan festival mini bertajuk Helatari. Helatari adalah festival seni tari kontemporer dua tahunan yang menampilkan karya-karya tari baru, yang berangkat dari khazanah tradisi tari Nusantara maupun dunia.
Tahun ini tiap koreografer memiliki kekuatannya masing-masing dan membawakan isu-isu yang relevan dengan masa kini seperti pendidikan, hingga batasan-batasan norma yang masih terlihat abu-abu di masyarakat, salah satunya adalah Wayan Sumahardika. Mengangkat konsep 'repertoar-arsip' sebagai ide dasarnya yang terinspirasi video arsip Bali 1928 dengan menggunakan materi arsip karya tari Igel Jongkok oleh maestro penari Bali, I Ketut Marya. Sebagai karya tari monumental di jamannya, Igel Jongkok menjadi sumber gagasan untuk menguraikan percakapan jongkok dalam zaman kolonial serta persepsi masyarakat tentang jongkok pada era sekarang. The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance adalah perkembangan lain dari proyek repertoar-arsip Squatting & Dance oleh Wayan Sumahardika yang mencoba menyingkap konstruksi estetis dan politis laku jongkok dalam hubungannya dengan lanskap repertoar-arsip pada panggung tari/pertunjukan serta koreografi sehari-hari.
“Saya mengalami refleksi pada konteks karya-karya di Bali yang sangat monumental, salah satunya adalah Igel Jongkok. Saya tertarik membawa Igel Jongkok kemari karena tarian ini merupakan karya yang hadir dari masa transisi Bali antara jaman kerajaan menjadi jaman kolonial di tahun 1918-1920-an. Di sisi lain Igel Jongkok menjadi menarik karena penciptanya adalah I Mario, di mana I Mario merupakan maestro yang monumental di jamannya. Saya ingin masyarakat dapat mengenal lebih jauh Igel Jongkok ini.” tuturnya.
Tarian bali pada awalnya tidak memiliki nama, konsep Jung Jung-Te Jung dari segi penamaan berasal dari masyarakat Bali yang ketika menciptakan tari atau karya seni tidak berorientasi pada individual yang bersifat nasional. Penamaan biasanya diambil dari bunyi-bunyi musik atau gamelannya. Seiring berkembangnya zaman dan konteks kolonialisme masuk sehingga ada hal yang berubah dan harus menyesuaikan karena dibutuhkan nama untuk menyebutkan sesuatu.
Sebelum Jung Jung-Te Jung, masyarakat Bali biasa menyebutnya tari kebyar karena basisnya berasal dari respon terhadap gamelan kebyar. Akan tetapi, karena begitu banyaknya tari kebyar, maka dinamakanlah Igel Jongkok. Yang menarik adalah ketika Igel Jongkok dibawa oleh pelancong-pelancong dari barat yang membawa figure I Mario ini ke luar negeri. Di sana Igel Jongkok dikenal dengan “The Famous Sitting Dance”, meskipun terdapat sedikit perubahan konstruksi dan pergeseran makna dari kata ‘jongkok’ menjadi “duduk” karena dalam pandangan dunia barat, “jongkok” merupakan istilah yang cukup asing.
Hal lain yang ingin ditonjolkan oleh Wayan Sumahardika sebenarnya adalah narasi dan sejarah di balik Igel Jongkok ini, sebab tari bukanlah sesuatu yang hadir ruang kosong, selalu ada sesuatu yang melatarinya. Narasi tersebut bertujuan agar Igal Jongkok dapat dipercakapkan secara kritis, tidak semata-mata menjadi tari yang monumental saja, tetapi juga bagaimana generasi hari ini dapat direfleksikan melalui karya-karya yang hadir. Narasi dalam tarian ini dirajut dalam konteks biografi penari dan aktornya yang diambil dari arsip Igal Jongkok dan sejarahnya, bagaimana pengalaman penari-penari ini mengenal atau mempelajari Igel Jongkok. Karya ini menawarkan pemaknaan atas relasi tradisi, kesejarahan (arsip) dan proses artistik yang menantang tatapan atas karya tari Bali dalam dunia kontemporer.
Sejauh itu Wayan Sumahardika mengatakan bahwa seni kontemporer hari ini tidaklah terbatas pada sekadar seni tari dan teater, sebab satu dan lainnya memiliki hubungan yang sangat erat. Menurutnya, hal yang paling penting dari berkarya adalah intensi yang ingin dibawa beserta medium yang bisa memediasi intensi tersebut. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan bagaimana karya tersebut mampu menipiskan sekat yang mungkin ada di antara praktik kerja riset dengan seni itu sendiri, yaitu pekarya secara apik menjalin keduanya sebagai satu praktik riset-artistik yang tidak terpisah dan terus bertumbuh secara konsisten.
“Jika mediumnya adalah tari, pasti akan saya gunakan, tentu dengan tetap berdasar pada basis saya sebagai orang teater. Saya meyakini bahwa sekat-sekat itu sendiri sejatinya untuk membuat kita semakin paham terhadap keduanya, baik tari maupun teater. Tari bisa menatap proses teater, dan begitupun teater bisa menatap tari sebagai satu basis penciptaan.” tutupnya.
Photos: Rahfalia Zaenh