Melalui karya-karyanya yang ditampilkan di Art Jakarta 2025, Zita Nuella mengajak para penikmat seni untuk melihat dunia dari berbagai macam perspektif.
Seniman kontemporer Indonesia, Zita Nuella, sukses mempresentasikan karyanya pada pekan seni bergengsi Art Jakarta 2025 bersama Nadi Gallery, yang juga menampilkan seniman-seniman besar Indonesia seperti Eko Nugroho dan Ugo Untoro. Momen tersebut memberikan konteks posisi karya-karya Zita dalam skena seni kontemporer.merupakan titik penting dalam perjalanan seninya.
Perjalanan seni Zita dimulai pada tahun 2024 saat terpilih dalam program inkubasi Atreyu Moniaga Project 12: Ad Maiora, sebuah program pembinaan untuk talenta seni baru di Indonesia. Setelah itu kariernya terus berkembang melalui serangkaian pameran dan kolaborasi lanjutan. Konsistensinya dalam membangun narasi personal membuatnya mulai dikenal sebagai salah satu suara muda yang menarik di skena seni kontemporer Indonesia.
Karya-karya yang Zita tampilkan di Art Jakarta 2025 mengeksplorasi bagaimana manusia menavigasi kekacauan–baik dalam dirinya maupun di dunia yang kian berubah–serta bagaimana pelamana itu perlahan membentuk sebuah identitas.
“Kita hidup di era yang dipenuhi kebisingan dan percepatan. Melalui karya-karya ini, saya berusaha mengembalikan perhatian pada hal-hal yang lebih sunyi, pada kerentanan, pada waktu berproses, dan pada upaya mengenali apa yang tersembunyi di balik hiruk-pikuk. Pada akhirnya, ketegangan di dalam kekacauan itu akan menjadi satu kesatuan,” jelas Zita Nuella.
Di tengah generasi yang tumbuh dengan tuntutan untuk selalu terdengar, banyak orang yang merasa kehilangan suara sendiri. Melalui lapisan warna dan gestur spontan, karya-karya Zita Nuella menangkap momen ketika seseorang belajar kembali mendengarkan dirinya, bukan untuk terlihat kuat, tetapi untuk jujur pada yang rapuh dalam diri.
Berikut adalah 3 karya Zita Nuella yang ditampilkan pada Art Jakarta 2025.
1. Yes, who are we living in the world of sanity?
2. And Near My Death, I’ll cherish them for keeping me awake
3. Hide and Seek
Dengan karya-karya yang menyimpan ketegangan antara diri dan persepsi, Zita menempatkan dirinya dalam lingkungan yang asing agar dapat berhadapan dengan cara pandang yang baru. “Ketika kita melepaskan diri dari perasaan takut, kita mulai menyadari bahwa mungkin itu bukan sekadar rasa takut. Seiring waktu berjalan, kita mulai merasakan perasaan lain terhadap mimpi buruk itu–kita dapat menciptakan definisi baru tentangnya.”
Bagi banyak orang, keheningan adalah hal yang menakutkan, karena di situlah suara hati paling jelas terdengar. Karya-karya Zita tidak memaksa penonton untuk memahami, melainkan memberi ruang agar setiap orang menemukan pantulan dirinya sendiri
Selama Art Jakarta, sang seniman mengenakan busana rancangan dari Nila Baharuddin. Hal tersebut menjadi isyarat kecil kolaborasi mereka. “Kami ingin mengeksplorasi bagaimana seni dapat hadir melalui tubuh, di mana kain dan gerakan menjadi perpanjangan ritme lukisan,” ungkap Zita. penampilannya juga menjadi pengantar tentang bagaimana seni rupa dan mode berbagi bahasa yang sama kepada siapapun yang melihat maupun yang mengenakannya.