Share
Lukisan Maestro “Pelukis Para Raja” Basoeki Abdullah Jadi Incaran Kolektor  di Global Auction
Dewi Anggriani Siregar
19 July 2024

Global Auction memberikan kesempatan kepada kolektor untuk memiliki karya seni modern & kontemporer dari maestro lukis Asia Tenggara dan karya seniman ternama seperti Trubus Sudarsono, Arie Smit, Nasirun, Mochtar Apin, Rusli, Dullah, Popo Iskandar, Djoko Pekik, Abdul Aziz, Oesman Effendi, G. Sidharta, Fadjar Sidik , Widayat, dan masih banyak lagi.


Basoeki Abdullah

Basoeki Abdullah mendapat julukan “Pelukis Para Raja”. Karyanya antara lain lukisan Ratu Belanda, Raja Thailand, Presiden Filipina, Sultan Brunei, dan masih banyak tokoh penting lainnya. Ia paling dikenal sebagai pelukis potret serta lanskap, fauna, flora, dan tema lainnya. Basoeki Abdullah menempuh pendidikan di Academia van Beeldende Kunsten di Den Haag, Belanda. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai negara Eropa, Asia Tenggara dan Indonesia. Terkenal dengan realisme dan naturalisme dalam seni lukis, Basoeki Abdullah memegang jabatan terhormat sebagai Pelukis Kepresidenan di Istana Merdeka di Jakarta, yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno. Bakat seninya diwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang merupakan seorang pelukis sekaligus penari. Perjalanan artistik Abdullah dimulai pada usia 4 tahun ketika ia dengan penuh semangat melukis tokoh-tokoh ikonik seperti Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus, dan Krishnamurti.

Self-Portrait

SELF PORTRAIT
Basoeki Abdullah
I, Basoeki Abdullah (Aku, Basoeki Abdullah)
Oil on canvas: 72 x 53.5 cm

Karya-karya Basuki Abdullah ini menarik minat kolektor dan Global Auction memberikan kesempatan untuk dapat memilikinya melalui lelang online yang diselenggarakan pada tanggal 27 Juli 2024 ini. Pada Lelang Global Auction mempersembahkan 145 Karya Seni Modern dan Kontemporer yang berharga dari para maestro Asia Tenggara dan seniman ternama. Lelang Langsung Online Global Auction akan menyoroti dan menampilkan karya-karya luar biasa yang secara visual memukau dan sangat layak untuk dikoleksi. Mari pelajari lebih lanjut tentang koleksi bulan Juli yang menonjol, jelajahi mengapa karya-karya menarik ini dan karya-karya luar biasa lainnya wajib dimiliki oleh para penggemar seni dan kolektor baru melalui artikel ini. Karya-karya yang diminati para kolektor dan siap untuk dilelang antara lain karya maestro Indonesia yaitu; Lee Man Fong, I Gak Munarsih, Affandi, S. Sudjojono, dan Ahmad Sadali.

Royal Poinciana Tree (Flamboyant Tree)

FLAMBOYAN
Basoeki Abdullah
Royal Poinciana Tree (Pohon Flamboyan)
Oil on canvas: 50 x 100 cm

Dalam lukisan “Pohon Kerajaan Poinciana” Basoeki Abdullah menggambarkan sebuah pohon flamboyan dengan bunga rimbun berwarna merah menyala. Cabang-cabang pohon itu meliuk ke berbagai arah, baik ke atas maupun ke bawah, hampir menyentuh sungai. Pohon ini terkenal dengan bunganya yang melimpah dan menyebar seperti cakar. Dikelilingi oleh rerumputan hijau, dengan sungai terlihat di kiri bawah. Dari tengah ke kanan jembatan terlihat beberapa sosok anak kecil dan perempuan yang sedang menghabiskan waktu bersama. Pohon flamboyan melambangkan keindahan dan kekuatan yang tergambar indah dalam lukisan ini.

Landscape Mountain (Mountain View)

MOUNTAIN?

Basoeki Abdullah
Landscape Mountain (Pemandangan Gunung)
Oil on canvas laid on board: 64 x 99 cm

Lee Man Fong

Salah satu lukisan yang akan kita bahas adalah Lee Man Fong, seorang maestro ternama Asia Tenggara. Ia mendapat pengakuan luas dan memamerkan karyanya di kota-kota terkemuka seperti Paris, Amsterdam, dan Den Haag. Bakat dan dedikasinya yang luar biasa terhadap karyanya membuatnya mendapatkan peran penting dalam Yinhua Meishu Xiehui (Perkumpulan Seniman Tiongkok di Indonesia), yang ia pimpin dari tahun 1955 hingga 1961. Ia dianugerahi beasiswa Malino yang didukung oleh Raja Muda Belanda Hubertus van Mook saat menjabat. reputasi artistik terus meningkat. Bermula sebagai seniman sketsa surat kabar, perjalanan Man Fong mencapai puncaknya pada perannya yang prestisius sebagai pelukis resmi istana kepresidenan Indonesia. Ia resmi menjadi pelukis istana presiden dan kepala kurator koleksinya pada tahun 1961 dan menyusun koleksi seni Presiden Sukarno edisi 5 jilid. Karirnya yang luar biasa mengukuhkan posisinya sebagai salah satu seniman paling terkenal di Asia Tenggara.

Peace, 1980

Lee Man Fong Peace (Damai), 1980 Oil on board: 104 x 51 cm
Lee Man Fong
Peace (Damai), 1980
Oil on board: 104 x 51 cm

Dalam lukisan bertajuk "Damai" Lee Man Fong menggambarkan sekawanan burung merpati. Di sebelah kanan, empat ekor burung merpati bertengger di batang dan dahan pohon, sedangkan dua ekor di sebelah kiri sedang terbang sambil mengepakkan sayap. Lukisan ini berlatar belakang coklat, ciri khas teknik melukis Tiongkok Lee Man Fong. Merpati putih melambangkan perdamaian, kesetiaan, dan kasih sayang, yang kemungkinan besar menginspirasi gelar "Perdamaian".

Two Spaniels, 1982

TWO SPANIEL
Lee Man Fong
Two Spaniels (Sepasang Anjing Spaniel), 1982
Oil on board: 104 x 51 cm

Lukisan ini menggambarkan dua ekor anjing spaniel yang sedang duduk di bawah pohon. Anjing-anjing tersebut berwarna kombinasi coklat tua dan putih krem, dengan ekspresi ceria terlihat saat mereka menjulurkan lidah. Spaniel merupakan salah satu ras anjing populer di Inggris yang terkenal dengan sifatnya yang ceria dan aktif. Selain itu, trah ini lembut, ramah, dan penuh kasih sayang. Mereka selalu waspada dan jeli, seringkali merespon dengan cepat terhadap lingkungan sekitarnya. Lukisannya didominasi warna kecoklatan, mulai dari tanah, batang pohon, hingga background.

The Spinner

THE SPINNER
Lee Man Fong
The Spinner (Gadis Memintal)
Oil on board: 102 x 50 cm

Lukisan bertajuk “The Spinner” karya Lee Man Fong ini menggambarkan seorang perempuan Bali yang sedang fokus pada alat tenunnya, mengabadikan momen kehidupan pedesaan. Keistimewaan dari karya ini adalah konsentrasi intens perempuan dalam menenun, tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Keinginan Lee Man Fong akan suasana tenang dan harmonis terlihat jelas dalam lukisan ini. Mengikuti prinsip Tiongkok "Chi Yun Sheng Tung," yang berarti "Nafas, Resonansi, Kehidupan, Gerakan," Lee Man Fong menggambarkan postur tubuh wanita untuk menyampaikan "Shen." Postur berlutut dan lekuk tangannya menunjukkan dedikasi dan antusiasmenya terhadap kerajinannya. Kain berwarna oranye kemerahan dan hijau cerah yang digunakan wanita tersebut menambah daya tarik lukisan tersebut. Karya ini mencerminkan apresiasi Lee Man Fong terhadap wanita, mengabadikan momen fokus mereka dalam memintal pakaiannya. Selain itu, pengaruh budaya Barat terlihat jelas dalam penggunaan warna dan penggambaran kecantikan feminin, serta tema yang menampilkan wanita Bali yang terinspirasi oleh seniman Belanda Willem Hofker.

Goldfishes (Ikan Mas)

GOLDFISH
Lee Man Fong
Goldfishes (Ikan Mas)
Oil on board: 82 x 182 cm

Dalam dunia seni lukis Tiongkok, ikan mas lebih dari sekedar benda dekoratif. Di papan bergengsi Lee Man Fong bertajuk "Ikan Mas", makhluk-makhluk ini berubah menjadi simbol kemakmuran dan kelimpahan. Lukisan itu sendiri memiliki corak warna yang menawan. Warna coklat mendominasi latar belakang, semakin gelap ke arah bingkai seolah-olah menciptakan teluk yang berlindung.

Setiap ikan mas memiliki bulu yang unik. Beberapa dibalut dengan warna merah menyala, melambangkan keberuntungan dan keberuntungan. Lainnya menyala dalam warna oranye yang disinari matahari, melambangkan kesuksesan dan vitalitas. Beberapa mengenakan mantel berwarna putih pecah, pengingat halus akan kemurnian dan keseimbangan. Ikan-ikan ini berenang ke arah yang berbeda-beda, jalurnya berbeda-beda namun keberadaannya saling terkait. Beberapa mengarah ke atas, yang lain menjelajahi kedalaman yang tenang, puas dengan keanggunannya yang tenang.

Srihadi Soedarsono

Lelang bulan ini menampilkan salah satu maestro modern Indonesia, Srihadi Soedarsono. Sebagai orang Jawa, Srihadi Soedarsono dididik berdasarkan prinsip etika Jawa Tengah. Pengalaman hidupnya, termasuk di bangku kuliah, telah membantunya menemukan jati dirinya sebagai seorang seniman. Ia memulai perjalanannya di Solo, belajar tentang masyarakat bangsawan Jawa.

Belakangan, saat kuliah di ITB Bandung, ia mengenal sistem pendidikan yang berorientasi Barat. Pengalamannya belajar di Amerika juga turut membentuk karakternya yang kuat dan wawasannya yang luas sebagai seorang seniman. Ia dikenal karena sikapnya yang mulia dan aristokrat, menghargai pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari. Dia memiliki selera yang sederhana, berbicara dengan lembut, dan memilih kata-katanya dengan hati-hati. Karya seninya sering menampilkan pemandangan pantai, gunung, sawah, dan langit. Ia menerima penghargaan kebudayaan dari pemerintah Indonesia (1971) dan Australia (1973). Pada tahun 1978 dan 1987, ia menerima penghargaan tertinggi dalam Pameran Dua Tahunan di Jakarta.

Gunung Merapi-Getaran Kehidupan

GUNUNG MERAPI
Srihadi Soedarsono
Mount Merapi-Vibration of Life
(Gunung Merapi-Getaran Kehidupan), 2008
Oil on canvas: 150 x 90 cm

Dalam lukisan ini, Srihadi Soedarsono menggambarkan Gunung Merapi di malam hari mengeluarkan lahar panas dan terang. Terlihat bulan terang di kanan atas menyinari Gunung Merapi. Lukisan yang didominasi warna hitam dengan guratan-guratan putih pada tubuh gunung menimbulkan efek cahaya bulan terutama pada puncak gunung. Lava yang keluar dari gunung digambarkan dengan warna oranye yang kontras sehingga menciptakan pemandangan yang memukau sekaligus menegangkan.

Borobudur - Moment of Contemplation

CONTEMPLATION
Srihadi Soedarsono
Borobudur - Moment of Contemplation (Borobudur - Momen Kontemplasi), 2008
Oil on canvas: 90 x 100 cm

Pada lukisan lainnya yang didominasi warna ungu, Srihadi Soedarsono menggambarkan Candi Borobudur dengan stupa di sebelah kiri. Di atas Candi Borobudur, bulan bersinar menerangi malam. Garis horizontal kontinu khas Srihadi terlihat menjadi pembatas antara Borobudur dan langit ungu, dan lukisan ini merupakan salah satu tema kontemplasinya. Teknik ini menambah kesan Candi Borobudur berdiri megah di bawah sinar rembulan.

S. Sudjojono

S.Sudjojono mendirikan Persatuan Seniman Indonesia Persagi di Jakarta pada tahun 1937 yang kemudian pada tahun 1970 mendapat penghargaan di bidang seni oleh pemerintah Indonesia. Karya-karyanya telah dipamerkan di Belanda dan Museum Seni Fukuoka di Jepang (1980). Pameran lokal telah diadakan di Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, dan Bandung.

S. Sudjojono adalah nama besar yang dikenal karena pesona, kecerdasan, dan kharismanya, paling dikenal karena lukisan potret dirinya, serangkaian karya seni yang tercipta sepanjang perjalanan seninya. Saat melukis suatu objek, Sudjojono secara konsisten menangkap karakter dan atribut pada saat subjek yang dilukiskan. Karyanya yang rumit, realistis, pragmatis, dan dipenuhi ketulusan, memberikan cerminan nyata dari kepribadian pelukis hebat itu. Keberanian, kebenaran, dan kejujuran adalah prinsip dasar dalam ekspresi seninya.

S. Sudjojono menggunakan nuansa hijau bercampur coklat kemerahan sebagai latar belakang untuk menciptakan kesan menarik Anggrek dan Bidadari. Fokus utama lukisan ini adalah kumpulan bunga anggrek berwarna merah putih yang disusun rapi dalam pot berwarna kuning. Sudjojono dengan cermat memilih warna-warna tersebut untuk menyampaikan keindahan dan makna filosofis dari setiap warna anggrek.

Anggrek merah pada lukisan ini melambangkan ketangguhan, cinta, dan keberanian. Warna merah yang kuat dan mencolok menonjolkan ciri-cirinya. Sedangkan anggrek putih melambangkan kepolosan, kesucian, dan rasa hormat. Warna putih bersih dan murni memberikan kontras yang menenangkan dengan warna merah, melengkapi makna lukisan secara keseluruhan. Di kiri atas lukisan, gambar bidadari putih dan hijau kemerahan menambah sentuhan dekoratif. Sudjojono dengan piawai memadukan elemen warna dan komposisi sehingga tercipta sebuah karya seni yang penuh ekspresi dan filosofi

Orchid and an Angel, 1985

ORCHID
S. Sudjojono
Orchid and an Angel (Anggrek dan Malaikat), 1985
Oil on canvas: 70 x 90 cmORCHID

I Gak Murniasih

Pada karya I GAK Murniasih ini terlihat sekuntum bunga berwarna merah muda tumbuh dari objek pelangi di sebelah kiri. Dihiasi dengan latar belakang hijau, karya ini menampilkan garis-garis rambut hitam bergelombang yang menambah kerumitan, menampilkan tema khasnya.

Tema seksualitas dan perjuangan perempuan menonjol dalam karya Murni, dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Trauma yang dialaminya sebagai korban kekerasan seksual memaksanya untuk mengungkapkan emosinya di atas kanvas. Tema utama Murni dalam karya-karyanya berkisar pada hal-hal tersebut, sangat berbeda dengan gaya atau genre seni Bali yang lazim pada masa produktifnya yang akhirnya membuat para ahli mengapresiasi karyanya.

Sebagai pelukis Bali pertama yang karyanya dikoleksi Tate Modern Gallery, di London, karyanya juga menghiasi Galeri Nasional Singapura dan Australia, Museum Nasional Kebudayaan Dunia, Leiden, Belanda, dan masih banyak lagi. Sejak tahun 2019, karya seninya telah dipamerkan di berbagai pameran seni di Indonesia, Singapura, Jepang, Filipina, dan Hong Kong, termasuk di ajang bergengsi seperti Art Basel Hong Kong dan Basel. Pada tanggal 11-15 Oktober 2023, Murni dipresentasikan di Frieze Masters, dan ia melakukan pameran di Biennale Sydney pada tahun 2024. Pameran-pameran ini telah meningkatkan pengakuannya secara signifikan di kalangan pecinta seni di Hong Kong, Jepang, dan Filipina.
Affandi

Spring (Musim Semi), 2003

SPRING
I GUSTI AYU KADEK MURNIASIH
Spring (Musim Semi), 2003
Acrylic on canvas: 100 x 100 cm

Affandi

Sebagai balai lelang bergengsi, Global Auction tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghadirkan koleksi-koleksi berharga karya empu ternama Indonesia, Affandi. Dia adalah pelukis avant-garde yang brilian, yang mengembangkan gaya unik "cat langsung dari tabung" yang mewakili dirinya. Dia akan mengekstrak cat langsung dari tabungnya, dan menggunakan jari dan telapak tangannya, mengaplikasikannya langsung ke kanvas, membiarkan emosinya mengalir ke kanvas.

Affandi mendapat beasiswa untuk belajar seni di India. Setibanya di sana, dia mengesankan semua profesor dengan keahliannya dan dianggap sebagai seniman Master, jadi dia memberi kuliah kepada mahasiswa seni di India. Ia dianggap sebagai Artis Indonesia yang unggul. Sebagai pendiri Himpunan Pelukis Masyarakat (1946) dan Himpunan Pelukis Rakyat pada tahun 1947, Affandi berkomitmen menciptakan idiom seni baru untuk Indonesia.

Ia mengadakan pameran tunggal di Indonesia dan berkeliling Eropa, mewakili Indonesia dalam pameran internasional di Brazil dan Venesia, meraih juara pertama di San Paolo, dan mengadakan pameran tunggal di World House Gallery New York.

Andong

ANDONG
Affandi
Horse Cart (Andong), 1981
Oil on canvas: 98 x 128 cmANDONG

Dalam lukisan ini, Affandi menggambarkan Andong yang dikelilingi pepohonan sebagai latar belakang. Andong merupakan kereta kuda tradisional yang berasal dari Yogyakarta. Dahulu Andong digunakan sebagai kendaraan para bangsawan pada masa Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, Andong mulai digunakan oleh para pedagang dan masyarakat umum yang mampu.

Dalam lukisan ini digambarkan dua Andong dengan teknik khas Affandi. Di kanan bawah, sebuah Andong diilustrasikan dengan guratan cat biru, sedangkan Andong lainnya ditampilkan dengan guratan cat merah di kiri bawah. Kedua Andong tersebut dilengkapi dengan pengemudi dan kuda penggerak.

Latar belakang lukisan ini menampilkan pepohonan rindang, digambarkan dengan guratan kucing berwarna kuning, hijau, dan gelap. Di kiri atas, matahari kuning menambah kecerahan pada lukisan itu. Sedangkan di bagian atas, dari kiri ke kanan, terdapat garis-garis biru putih yang melambangkan cerahnya langit di sekitar candi. Affandi dengan lihai memadukan unsur-unsur tersebut dalam sebuah karya yang penuh warna dan ekspresi.

Self Portrait

SELF PORTRAIT
Affandi
Self Portrait I (Potret Diri I), 1981
Oil on canvas: 113,5 x 97 cm

Kecintaan Affandi terhadap lukisan bertema Potret Diri memang tak lekang oleh waktu. Dalam karyanya "Potret Diri", Affandi menggambarkan gambaran dirinya yang kontemplatif dan emosional. Perjalanan waktu menjadi pengamat diam atas transformasi jiwa manusia yang terus berlangsung, menginspirasi Affandi untuk mengabadikannya dalam rangkaian Potret Diri. Selain sekedar potret diri, karyanya juga merupakan eksplorasi mendalam terhadap identitas dan ekspresi jiwa Affandi. Di bawah guratan ekspresif, serangkaian emosi terpancar dari sang master. Affandi dengan berani menunjukkan ketidaksempurnaannya, mengungkap setiap kekurangan dalam dirinya.

Kumpulan Potret Diri ini merupakan narasi perjalanan hidup Affandi yang mendokumentasikan pengalaman perubahan fisiknya di atas kanvas. Setiap lukisan menangkap momen penting dalam hidupnya, memberikan gambaran sekilas tentang keberadaan terdalam sang seniman. Berukuran 113,5 x 97 cm, dalam lukisan bertajuk “Potret Diri I” ini kita dapat mengamati bagian tengah kepalanya yang mulai botak, menunjukkan penuaannya. Sedangkan rambut di kanan dan kirinya tetap lebat, begitu pula kumis dan janggutnya yang berwarna-warni. guratan-guratan hijau, putih, dan gelap. Ciri-ciri wajahnya menunjukkan munculnya kerutan, digambarkan dengan guratan-guratan merah dan kuning, serta mata tertutup dalam pekerjaan khusus ini.

Heri Dono

Pada awal tahun 1990-an, Heri Dono tampil sebagai seniman Indonesia pertama yang menorehkan prestasi di kancah seni rupa global. Prestasinya diakui oleh Artlink, sebuah majalah seni terkemuka Australia, yang menyorotinya sebagai seniman yang paling banyak diundang secara internasional dari tahun 1993 hingga 2006. Diakui sebagai salah satu dari 100 seniman Avant-Garde terkemuka di dunia, ia menonjol sebagai satu-satunya seniman kontemporer Indonesia. untuk menerima undangan ke pameran bergengsi Venice Biennial yang dikurasi pada tahun 2003.

Sepanjang karirnya, ia telah meraih beberapa penghargaan, antara lain Dutch Prince Claus Award for Culture and Development (1998), UNESCO Prize (2000), dan Anugerah Adhikarya Rupa (Visual Arts Award) dari pemerintah Indonesia pada tahun 2014. berpartisipasi aktif dalam lebih dari 300 pameran dan 41 biennale internasional termasuk Asia Pacific Triennial (1993 & 2000), Gwangju Biennale (1995 & 2006), Sydney Biennale (1996), Shanghai Biennale (2000), dan berbagai edisi Venice Biennale (2003 & 2015). Selain itu, ia pernah tampil di Sharjah Biennial (2005 & 2023), Guangzhou Triennale (2011), Kochi-Muziris Biennale (2018), Bangkok Art Biennale (2018), dan Gangwon Kids Triennale (2020) di Korea Selatan.

Power of the Throne (Kuasa Tahta)

POWER
Heri Dono
Power of the Throne (Kuasa Tahta), 2014
Acrylic on canvas: 200 x 300 cm

Karya kanvas berukuran 200 x 300 cm ini menceritakan konspirasi sejarah raja-raja Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan tahtanya melalui politik dinasti. Makhluk berkaki empat dan bermata lima melambangkan kekuasaan, mewakili sosok yang mengendalikan segala kebijakan yang dijalankan oleh orang di belakangnya. Sosok bermata lima itu mengarahkan siapa pun yang mengendarainya, yang pada dasarnya mengarahkan tindakan orang-orang di belakangnya. Sosok kecil bersayap putih digambarkan menjaga keamanan di sekitar. Sedangkan sosok yang terlihat melalui jendela bertugas menjaga kursi kekuasaan.

Sejarah Pameran:

1. The World and I: Heri Dono's Art Odyssey (2014), Art1: New Museum, Jakarta, Indonesia

2. Setting Visiting Artist Studio (2022), Menara BTPN, Jakarta, Indonesia

Sejarah Publikasi:
The World and I: Heri Dono's Art Odyssey Exhibition Catalogue, 2014

Salto Mortale

SALTO
Heri Dono
Salto Mortale, 2011
Acrylic on canvas: 200 x 300 cm

Karya akrilik di atas kanvas ini terinspirasi oleh artikel Homi K. Bhabha "Teori Postkolonial", yang membahas kemajuan peradaban secara simultan dan masih adanya praktik barbar, khususnya dalam perang. Lukisan tersebut menggambarkan sosok-sosok yang muncul dari lemari es yang rusak dan terjun ke dunia yang ambigu, mengingatkan kita pada adegan dalam video musik "Another Brick in the Wall" milik Pink Floyd, di mana para siswa tanpa berpikir panjang mengikuti perintah gurunya dan melompat ke tujuan yang tidak diketahui. Stoples kaca berisi kepala dan bendera di samping lemari es melambangkan identitas masa lalu mereka.

Dalam karya seni ini, terlihat dua sosok sedang berjongkok di dalam tangki mirip lemari es, saling berhadapan. Sosok di sebelah kiri berkepala anjing, lidahnya menjulur mengantisipasi tulang yang tertancap erat di mulut sosok di sebelah kanan yang memakai kepala kepala suku primitif. Di atas mereka, sosok kecil mirip manusia melompat ke dalam toilet yang ditempatkan di antara dua tangki. Di atas setiap tangki terdapat bendera: satu dengan simbol garpu dan sendok bersilang, dan yang lainnya dengan tengkorak dan tulang bersilang. Objek-objek yang tampaknya tidak berhubungan ini digabungkan untuk menceritakan sebuah kisah tentang para pemimpin politik yang mengorbankan rakyatnya demi memuaskan keserakahan mereka. (Hermanto Soerjanto, teks kuratorial)

Sejarah Pameran:
1. The World and I: Art Odyssey Heri Dono (2014), Art1: Museum Baru, Jakarta, Indonesia
2. Joy/Fear: Pameran Tunggal karya Heri Dono (2015), Mizuma Gallery, Singapura
3. Sumonar Fest (2023), Museum Affandi, Yogyakarta, Indonesia

Sejarah Publikasi:
1. The World and I: Katalog Pameran Art Odyssey Heri Dono, Art1: New Museum, 2014
2. Katalog Pameran Joy/Fear, Galeri Mizuma, 2015
3. Katalog Pameran Sumonar Fest Museum Affandi 2023

Ahmad Sadali

Dalam lukisan “Bidang Vertikal Berlatar Belakang Hijau” Ahmad Sadali menggambarkan komposisi abstrak yang didominasi berbagai corak warna hijau. Di bagian atas, empat keping emas menonjol dengan latar belakang pirus, sedangkan bagian bawah dihiasi dengan emas dan garis horizontal.

Ahmad Sadali lulus dari Jurusan Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1953, kemudian menjadi guru besar di Jurusan Seni pada tahun 1972. Ia menerima hibah dari Rockefeller Foundation untuk belajar di Iowa State University dan New Liga Pelajar Seni York di AS dari tahun 1956 hingga 1957.

Selain itu, ia melanjutkan studi di Belanda dan Australia pada tahun 1977, dan di Pakistan pada tahun 1980. Ia mengadakan pameran tunggal di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta. Ia berpartisipasi dalam berbagai pameran kelompok di india, Tiongkok, Jepang, Thailand, Filipina, Singapura, India, Vietnam, Amerika Serikat, Swiss, Inggris, Prancis, Brasil, dan Arab Saudi. Penghargaan yang pernah diraihnya antara lain Anugerah Seni Art Award dari pemerintah Indonesia pada tahun 1972 dan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada Biennial Seni Lukis Indonesia pada tahun 1974 dan 1978.

Vertical Plane with Green Background (Bidang Vertikal dengan Latar Hijau), 1978

AHMAD SADALI
Ahmad Sadali
Vertical Plane with Green Background (Bidang Vertikal dengan Latar Hijau), 1978
Mixed media on paper: 58 x 28 cm

Cheong Soo Pieng

Fishing Village ( Kampung Nelayan), 1960

CHEONG
Cheong Soo Pieng
Fishing Village ( Kampung Nelayan), 1960
Ink and color on paper: 65 x 45 cm

Maestro berikutnya yang kami miliki adalah seniman Singapura kelahiran Tiongkok yang luar biasa; Cheong Soo Pieng. Ia menerima pendidikan seni formal di Tiongkok dan mengembangkan gaya khas sepanjang sejarah di Singapura. Cheong pertama kali belajar seni di Akademi Seni Xiamen dan kemudian mendaftar di Akademi Seni Rupa Xinhua di Shanghai. Setelah tiba di Singapura pada tahun 1946, ia mengajar di NAFA dari tahun 1947 hingga 1961. Semangat inovatif Cheong mendorongnya tanpa henti untuk menguji ide-ide baru dan mengeksplorasi visi baru.

Sebagai salah satu pelukis paling berprestasi dan produktif, karya seni Cheong Soo Pieng mencakup lebih dari empat dekade dan berbagai media lukisan, menunjukkan kehebatan teknisnya yang signifikan dan cakupannya yang luas. Ia membina generasi seniman media Barat dan mengamankan tempat bagi pelukis Singapura dalam sejarah seni global melalui posisi mengajarnya di Akademi Seni Rupa Nanyang.

Pada tahun 1952, Cheong, bersama rekan-rekan seniman pionirnya, melakukan perjalanan ke Bali untuk mengkonsolidasikan ide-ide mereka dan menampilkan 'gaya Nanyang' – gaya lukisan khas Singapura yang pertama. Selama tahun 1950an dan 1960an, lukisannya merupakan representasi empati dan introspektif dari masyarakat, lanskap, dan adat istiadat Singapura dan kawasan Asia Tenggara yang lebih luas.

Ia dengan cermat menggabungkan tradisi lukisan Timur dan Barat dan diakui secara internasional sebagai salah satu seniman pionir terpenting di Singapura, yang berhasil memadukan beragam tradisi seni di kawasan ini. Lukisan abstrak “Desa Nelayan” yang dibuat dengan tinta dan warna di atas kertas merupakan konstruksi garis dan bidang yang dramatis, menggunakan palet warna gelap, krem, dan coklat.