Dari lukisan hingga patung, segudang karya dipamerkan Eko Nugroho dalam pameran tunggal bertajuk ‘Cut The Mountain And Let It Fly’ yang berlangsung selama 18 Juli hingga 13 Agustus 2023 di galeri ROH Project.
Untuk pertama kalinya sejak 2015, Eko Nugroho kembali mempersembahkan pameran tunggal di Indonesia melalui persembahan yang bertajuk ‘Cut The Mountain And Let It Fly’. Diselenggarakan di galeri ROH Project dari 18 Juli hingga 13 Agustus 2023, pameran ini memamerkan beragam karya Eko Nugroho mulai dari patung, lukisan, mural site-specific, hingga karya-karya lama berupa sulaman dan sketsa cat air, membawa para pengunjung ke dalam jejak artistiknya yang menakjubkan.
‘Cut The Mountain And Let It Fly’ menjadi saksi perjalanan kreatif Eko Nugroho selama lima tahun terakhir. Lebih dari sekadar cerminan estetika seni Eko Nugroho, karya-karya yang dipamerkan dalam pameran ini merupakan buah pemikiran, perenungan, dan refleksi sang seniman terhadap berbagai persoalan budaya kontemporer dan situasi sosial-politik di Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang kian berkembang, dengan tetap mempertimbangkan hakikat dasar manusia yang menjadi inti dari keberadaan kita.
Di seluruh ruang-ruang galeri ROH Project, bahasa visual khas Eko Nugroho yang melibatkan UFO, sosok humanoid, mata yang menatap ke berbagai arah, serta penataan ornamen yang berdiri sebagai metafora untuk keadaan sosial tersebar luas. Akan tetapi, terdapat kedewasaan tertentu dalam ekspresi estetikanya yang telah berevolusi dari konsep-konsep sebelumnya.
Bukti kedewasaan ini terlihat dalam karya sorotan yang bertajuk ‘Cut The Mountain And Let It Fly #2’. Mural hitam putih yang membentang luas dari lantai ke langit-langit ini terinspirasi dari atau mungkin merupakan sebuah lanjutan dari mahakarya Eko Nugroho bertajuk ‘Cut The Mountain And Let It Fly’ yang diciptakan pada 2009 khusus untuk Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday dan juga menjadi judul dari pameran ini.
Kedua karya serial Cut The Mountain And Let It Fly sama-sama menggambarkan wujud semangat perjuangan antara tradisi, modernitas, dan kreasi. Akan tetapi, keduanya berbeda dalam komposisi gambar di mana mural pendahulunya terlihat lebih tertata dan kosong dengan latar biru muda yang menenangkan sedangkan mural baru ini menampilkan sejumlah pola kontras memenuhi tembok dengan berbagai rupa bebatuan, dedaunan, mata yang mengintip, serta sosok robot, membangkitkan atmosfer yang terkesan lebih kacau.
Selain mural ini, terdapat kehadiran karya baru lainnya yang sama-sama mencolok. Berdiri tepat di depan ‘Cut The Mountain And Let It Fly #2’ adalah patung raksasa ‘We Are Human’, sebuah robot berbentuk bola berwarna kuning yang dihiasi dengan jendela-jendela kecil seperti mata serta lima kaki mekanik yang menjulur panjang. Terlihat sederhana, patung ini melambangkan kehidupan manusia masa kini di mana kita mampu melihat ke berbagai arah secara bersamaan melalui teknologi dan media sosial. Meskipun kedua hal ini memiliki banyak manfaat, Eko Nugroho menyinggung bahayanya yang dapat membuat kita merasa terputus dan terisolasi.
Karya-karya Eko Nugroho lainnya di pameran tunggal ‘Cut The Mountain And Let It Fly’ berupa rangkaian 12 patung fiberglass berwarna neon yang bertajuk ‘Half Hero Half Stone’ serta patung-patung humanoid ‘Reconstruction Dream’ dan ‘Ala Carte Modern Slavery’ dan masih banyak lagi, masing-masing mengemas kompleksitas serta makna yang kaya di dalamnya.
Ketika menjelajahi pameran tunggal Eko Nugroho, kita dapat menyaksikan keahlian sang seniman yang multifaset serta narasi yang telah ia bentuk. Karya seninya yang menghubungkan ranah imajinasi dan realitas mengajak kita untuk mengeksplorasi dikotomi yang membentuk eksistensi kita, memicu perenungan dan perbincangan tentang eksistensi dan esensi menjadi manusia.