“Perjalanan seorang Alpha bukanlah tentang kemenangan pribadi; melainkan perjalanan bersama menuju pertumbuhan.” – Ario Bayu
Ario Bayu Wicaksono selalu membawa semangat, integritas, dan tujuan dalam perjalanan karirnya selama hampir dua dekade ini. Belum lama ini diangkat sebagai Ketua Komite Festival Film Indonesia, Ario berbicara tentang tanggung jawab dan kehormatan dalam posisinya yang baru, mengingat pengalaman panjang dan dedikasinya pada industry perfilman. Kariernya mencerminkan komitmen bukan hanya pada seni peran, tetapi juga pada pemahaman yang lebih dalam tentang pengalaman manusia dan mewujudkan semuanya di layar. Bagi Ario, peran barunya ini adalah kehormatan sekaligus tanggung jawab yang menghubungkan karyanya dengan visi untuk masa depan perfilman Indonesia.
Saat ini, Ario juga disibukkan dengan berbagai aktivitasnya, termasuk usaha wirausaha yang disebutnya hampir paralel dengan pekerjaannya di dunia akting. Terpesona oleh psikologi mengenai audiens dan mekanisme dalam bercerita, ia mencatat adanya kesamaan antara akting dan dunia bisnis. “Ada beberapa usaha kecil yang sedang saya bangun, dan mempelajari perjalanan kewirausahaan juga sangat menarik bagi saya. Ada korelasi unik dengan seni pertunjukan, di mana kita harus memahami psikografi audiens atau pasar kita. Dalam beberapa hal, ini mirip dengan apa yang saya lakukan ketika mencoba memahami keadaan psikologis dan emosional manusia dalam kapasitas saya sebagai aktor,” katanya.
Salah satu film terbarunya, Samsara, menawarkan perpaduan antara sinema dan konser— sebuah format yang jarang dieksplor di Indonesia. Film yang digarap dalam tampilan hitam-putih ini menghadirkan kisah cinta tragis melalui dua media. Dalam satu versi, penonton akan merasakan cerita dengan pertunjukan musik langsung, dan di versi lainnya, konser yang direkam akan menjadi bagian dari pengalaman sinematik yang dinikmati penonton. “Saya rasa ini akan membangkitkan imajinasi penonton karena kami juga mencoba meruntuhkan paradigma dalam film. Ceritanya juga sangat relevan untuk konsumsi masa kini,” Ario berujar.
Selain berakting, Ario melihat dirinya sebagai ‘laboratorium berjalan’, yang terus-menerus menganalisis perilaku manusia untuk menambah keotentikan dalam perannya. Terinspirasi oleh pelatihan teater di masa mudanya, ia mengamati latar belakang sosial, budaya, dan psikologis setiap karakter, menyadari bahwa memahami motivasi dan emosi manusia sangat penting bagi seorang aktor. Baginya, kekuatan sebuah cerita terletak pada kemampuannya untuk mengubah dan menginspirasi, membuat penonton bertanya dan berpikir mendalam. Ia menekankan bahwa cerita adalah alat perubahan yang mampu mengubah perspektif dan memicu inovasi.
“Sebagai seorang aktor, saya harus bisa memahami internalisasi bagaimana manusia berpikir, merasakan, dan semua atribut yang terkait. Jadi, memang terlihat agak kompleks, tapi tujuannya hanya satu, yaitu meyakinkan penonton bahwa cerita yang kita bawakan itu meyakinkan. Karena seorang aktor juga harus memahami bahwa cerita memiliki kekuatan transformatif. Cerita bisa mengubah paradigma, mengubah konvensi, bahkan menciptakan inspirasi dan inovasi. Begitulah cara saya memprosesnya.”
Saat ditanya tentang proses kreatifnya, Ario mengungkapkan kecintaannya pada kontradiksi dan kompleksitas dalam karakter, yang menurutnya mencerminkan pengalaman manusia sesungguhnya. Ia mengapresiasi karakter yang menunjukkan lapisan demi lapisan dalam perilakunya yang memiliki nuansa dan ambivalensi, menangkap spektrum emosi dan sikap yang berubah tergantung pada situasi. Baginya, setiap orang menjalani berbagai peran dalam hidup dan menyesuaikan kepribadian mereka berdasarkan konteks. Kedalaman dan kemampuan beradaptasi ini mempengaruhi cara dia memerankan karakter, baik dalam peran ikoniknya sebagai Soekarno dan Sultan Agung maupun dalam eksplorasi karakter sehari-hari. “Setiap orang,” renungnya, “adalah aktor berjalan, pemain berjalan.”
Dengan perusahaan produksi baru yang baru-baru ini ia dirikan, Ario mulai menjajaki peran sebagai produser. Produksi, menurutnya, adalah proses yang berjalan bertahap namun bermanfaat yang membutuhkan visi dan komitmen untuk mengembangkan ide-ide kreatif. “Dalam Samsara, saya mengambil peran sebagai produser eksekutif untuk proyek yang saya yakini dan anggap sangat berarti, terlebih saya bekerja sama dengan sutradara berpengalaman yang kaya secara kreatif yaitu Garin Nugroho, membuat saya meyakini bahwa film ini membawa visi dan dedikasi kami bersama,” ungkapnya.
Dalam hal kepemimpinan, Ario berbagi perspektifnya tentang menjadi seorang ‘Alpha’, konsep yang ia lihat melampaui kekuasaan hierarkis tradisional. “Alpha adalah energi tanpa gender. Ketika kita berbicara tentang ambisi—atau karsa, sebagaimana disebut dalam bahasa Indonesia—semangat dan visi adalah kualitas esensial yang harus dimiliki seorang Alpha. Seorang Alpha memiliki kekuatan untuk membentuk masa depan, dan aspek kepemimpinan dibutuhkan oleh semua orang, tanpa memandang gender. Inilah pemahaman saya tentang makna seorang Alpha. Jika kita masing-masing bisa menjadi Alpha bagi diri sendiri, kita pasti bisa mengatasi keterbatasan kita sendiri dan menemukan keberanian untuk menghadapi ketakutan kita. Itu yang membuat Anda menjadi seorang alpha.”
“Saya juga belajar banyak dari memerankan tokoh Alpha seperti Soekarno dan Sultan Agung. Dari karakter-karakter ini, saya menyadari bahwa kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan intelektual atau kognitif. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengangkat orang lain—untuk menginspirasi tim, teman, dan kolega. Bagi saya, hierarki bukanlah yang mendefinisikan seorang Alpha; melainkan kemampuan untuk mendorong batas dan menginspirasi sebagai semua orang di sekitar kita,” ia mengakhiri wawancara dengan mantap.
Sumber foto: Isnu Dwimartanto
Pengarah gaya: Bung Bung Mangaraja
Busana: BOSS
Lokasi: Poliform Jakarta