Seni merupakan salah satu hasil ungkapan perasaan yang juga menjadi kebutuhan setiap manusia. Melalui seni, sang seniman dapat mengajak para penikamatnya untuk menafsirkan makna di balik setiap karya yang diciptakan, begitu pun sebaliknya.
Mengingat saat ini kegiatan offline kembali marak diselenggarakan dengan tetap mematuhi protokol dan aturan dari pemerintah, pameran dan galeri seni pun saat ini sudah dapat kembali kita nikmati secari langsung. Salah satunya adalah “Constellations of Being,” sebuah pameran tunggal dari Sinta Tantra ini digelar dari 6 Agustus hingga 30 September 2022 di ISA Art & Design Gallery di Wisma 46, Jakarta.
Memiliki darah Bali, Sinta Tantra kini berbasis di Inggris dan Indonesia. Terkenal akan kecintaannya terhadap warna dan komposisi, karya Sinta Tantra merupakan sebuah eksperimen dalam skala dan dimensi, sebuah perpaduan antara pop dan formalisme, sebuah eksplorasi tentang identitas dan estetika.
Dikurasi oleh Sadiah Boonstra, pameran tunggal “Constellations of Being” ini juga turut dihidupkan dengan bantuan Seniman Suara Thibaut Vandamme dan Asisten Studio Puti Azalia Ichsan.
Dalam menciptakan karyanya, Sinta menggunakan cat tempera di atas linen foto serta memakai bahan organik dan mineral–yang ia gambarkan sebagai proses “hidup dan bernafas.” Akhir-akhir ini, ia juga mulai melirik penggunaan material emas yakni dengan cara menempelkan lembar demi lembar daun emas di dalam lukisannya.
Kecintaan Sinta terhadap warna komposisi dan ekspresinya kerap diterjemahkan dalam bentuk lukisan abstrak dan mural. Karya-karyanya yang tersohor berupa mural-mural di ruang publik di Hong Kong hingga Liverpool, termasuk di antaranya yang paling menyita perhatian adalah mural yang menghiasi jembatan sepanjang 300 meter di Canary Wharf, London sebagai bagian dari proyek Olimpiade 2012. Baru-baru ini, ia juga merampungkan proyek mural yang menghiasi fasad Poins Square Mall dan Apartemen di Jakarta Selatan.
Disebut sebagai “konstelasi”, pameran tunggal Sinta kali ini menyoroti tentang cerita hidup serta sejarah keluarganya. Siluet-siluet dedaunan tropis dengan latar bentuk-bentuk geometris abstrak dan linen menggambarkan bagaimana Sinta berusaha menerjemahkan setiap karya yang terpengaruh dari pelukis-pelukis asal Eropa seperti Henri Matisse dan Jean Arp lalu dilebur dengan bentuk-bentuk simbolis khas seniman Bali, Nyoman Lempad.
Dalam proses pencarian inspirasi setiap karyanya, Sinta melakukan riset dengan bertanya kepada kedua orang tuanya terkait hal-hal dan memori apa saja yang berkesan dalam keluarga. Termasuk kumpulan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang yang kemudian ia sebut sebagai “konstelasi”.
"Saya ingin terhubung dengan orang-orang pada tingkatan yang telah melampaui kata-kata dan budaya. Saya memiliki perbendaharaan bentuk dan warna yang dapat saya pasang dan bongkar serta seperangkat aturan yang bisa saya ikuti atau saya langgar jika diperlukan," ungkap Sinta.
"Saya tertarik untuk menciptakan semacam tekanan bagi penikmat karya saya dalam hal komposisi dan kombinasi; tempat di mana mereka dapat menemukan narasi mereka dan di mana saya dapat menemukan narasi saya." tambahnya.