Dari sebuah kota kecil di Sulawesi Utara hingga podium Olimpiade, Greysia Polii mengubah kemunduran menjadi pijakan untuk meraih dampak. Kisahnya tentang ketahanan, kepemimpinan yang disiplin, dan komitmen yang tak kenal lelah untuk membantu orang lain saat ia bangkit.
Perjalanan Greysia Polii terasa hampir sinematik, tetapi itu adalah hasil dari latihan tanpa henti, pilihan praktis, dan kejelasan moral tentang arti kesuksesan. Lahir dan besar di Tomohon, Sulawesi Utara, ia menemukan bulu tangkis pada usia lima tahun dan pada usia tiga belas tahun telah mengubah hasratnya menjadi panggilan jiwa. Olahraga ini tidak pernah hanya jalan menuju trofi. Bagi Greysia, bulu tangkis juga merupakan cara untuk membangun disiplin dan mengubah keterbatasan pribadi menjadi kekuatan abadi, pelajaran yang kemudian membentuk cara ia memimpin dan membimbing orang lain.
Yang membuat Greysia menarik adalah konsepsinya tentang kepemimpinan alfa. Baginya, label itu tidak identik dengan dominasi atau keberanian. Melainkan, itu merujuk pada seseorang yang mengelola dirinya sendiri terlebih dahulu, melalui kejelasan visi, komitmen yang kuat, dan kemauan untuk menerima keputusan sulit. Ia menggambarkan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari kegagalan, untuk berefleksi dengan jujur, dan untuk membangun kembali dengan hati yang terbuka. Ketika ia berbicara tentang bayang-bayang panjang diskualifikasi Olimpiade 2012 dan proses penerimaan setelahnya, ia tidak menceritakan drama itu demi dirinya sendiri. Ia menjelaskan bagaimana kegagalan yang jujur ??menjadi mesin pertumbuhan dan bagaimana perubahan pola pikir mempersiapkannya untuk momen berikutnya di panggung dunia.
Puncak karier Greysia di lapangan sudah dikenal luas. Momen itu tidak terjadi dalam semalam, melainkan hasil dari kalibrasi ulang selama bertahun-tahun. Prosesnya mencakup perubahan taktis, pembingkaian ulang mental, dan kenikmatan baru atas proses itu sendiri. Keberhasilan medali emasnya di Olimpiade Tokyo menjadi simbol tidak hanya keunggulan atletik tetapi juga ketahanan. Bagi para atlet muda yang mengaguminya, pelajarannya sederhana: kehebatan jarang terjadi dalam semalam, dan seringkali upaya yang Anda lakukan setelah kekecewaanlah yang menentukan skala pencapaian Anda.
Di luar lapangan, ambisi Greysia luas dan membumi. Sejak pensiun pada Juni 2022, ia telah beralih ke kewirausahaan dan pengaruh institusional. Portofolionya mencakup usaha di bidang properti, mode, dan peralatan olahraga, di samping peran dalam tata kelola olahraga nasional dan internasional. Ia duduk bersama badan-badan seperti PBSI, Komite Olimpiade Indonesia, dan telah terlibat dengan Federasi Bulu Tangkis Dunia, semua posisi yang memperluas pengaruhnya melampaui trofi ke sistem, kebijakan, dan pengembangan bakat masa depan. Orientasinya pragmatis: ia mencari sistem yang mendukung atlet sepanjang karier mereka dan seterusnya, termasuk pendidikan keuangan pribadi dan perencanaan hidup. Kepedulian terhadap keberlanjutan tersebut mencerminkan pengalamannya bahwa karier atletik bersifat terbatas dan formatif.

Mungkin contoh paling jelas dari keinginan Greysia untuk mengubah platform menjadi barang publik adalah inisiatif Menembus Garis Batas miliknya, sebuah proyek multidisiplin yang mencakup memoar, lagu, dan program penjangkauan. Menembus Garis Batas bersifat personal sekaligus publik, sebuah narasi tentang melewati ambang batas dan sebuah program konkret untuk mendistribusikan buku dan ide kepada pembaca muda di seluruh negeri. Lebih dari sebelas ribu eksemplar buku Menembus Garis Batas telah disumbangkan ke sekolah-sekolah, guru-guru, perpustakaan daerah, dan yayasan-yayasan, sebuah gestur yang menunjukkan bagaimana produksi budaya dapat mendampingi strategi filantropi. Ia juga telah menciptakan kanal bagi publik untuk berpartisipasi dalam pendistribusian buku, mengubah kisah pribadi menjadi sumber daya komunal.
Penggambaran diri Greysia sebagai mentor bukanlah retorika. Ia aktif membimbing para atlet junior, memimpin sesi berbagi, dan mempromosikan inisiatif yang membantu para atlet mempersiapkan diri untuk kehidupan pasca-kompetisi. Ia memandang literasi, terutama literasi keuangan, sebagai prioritas tinggi. Argumennya praktis: para atlet membutuhkan perangkat manajemen dan perencanaan pendapatan agar kesuksesan olahraga menghasilkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Inisiatif ini berakar pada empati, diinformasikan oleh pengalaman, dan dijiwai oleh keinginan untuk memprofesionalkan sistem pendukung di sekitar olahraga Indonesia.
Gaya kepemimpinannya terkenal karena keseimbangan antara kerendahan hati dan akuntabilitas. Ia berbicara di depan umum tentang iman, keluarga, dan sistem pendukung yang menopangnya, termasuk lingkaran dekat yang sengaja ia kuratori. Ia menyadari bahwa ketabahan pribadi selalu merupakan ketabahan yang terhubung dengan jaringan. Pengakuan ini membentuk cara ia memimpin sekarang: sebagai anggota dewan, pemilik bisnis, dan tokoh publik, ia mencontohkan gagasan bahwa pengaruh harus digunakan untuk menciptakan perancah bagi orang lain, bukan hanya untuk mengumpulkan penghargaan individu.
Visi Greysia untuk generasi mendatang jelas dan mendesak. Ia mendorong kaum muda untuk menembus batas kemampuan mereka sendiri, bersabar dalam prosesnya, dan memandang kesuksesan bukan sebagai kecepatan, melainkan sebagai umur panjang. Tiga atribut inti yang ia miliki bagi para calon alfa adalah kejelasan visi, komitmen yang kuat, dan sistem pendukung yang andal. Setiap sifat tersebut praktis dan dapat diajarkan, dan bersama-sama membentuk panduan bagi mereka yang ingin memimpin dalam olahraga maupun di luar olahraga.
Ada pula sisi kemanusiaan yang melengkapi potret tersebut. Greysia menemukan pemulihan dalam kehidupan keluarga, membaca, bepergian, dan olahraga lain seperti tenis. Ia adalah seorang wirausahawan yang gemar berdiskusi tentang strategi bisnis dan seorang ibu yang menghargai waktu bersama anaknya. Praktik-praktik sederhana tersebut menunjukkan bahwa kinerja tinggi dan ritual-ritual sederhana tidaklah bertentangan, melainkan saling menopang.
Di negara yang menjunjung tinggi pahlawan dan kisah-kisah kegigihan, Greysia Polii menonjol karena ia menerjemahkan narasi pribadi menjadi reformasi kelembagaan dan budaya. Ia menerima penghargaan dengan rasa syukur dan menggunakan prestise yang mereka berikan untuk mengadvokasi program pendidikan, skema pendampingan, dan perbaikan sistemik. Untuk profil The Alpha Under 40, ia mencontohkan seorang alfa modern yang memadukan prestasi kompetitif dengan tanggung jawab, yang mengubah momen podium menjadi platform bagi orang lain, dan yang membingkai kepemimpinan sebagai pelayanan, alih-alih tontonan.
Warisan Greysia masih dalam proses pembentukan. Jika masa lalunya dapat dijadikan panduan, ia akan terus menjembatani olahraga, bisnis, dan keterlibatan masyarakat, dan ia akan menekankan bahwa keunggulan haruslah bersifat generatif. Mantra pribadinya adalah bahwa Menembus Garis Batas bukan hanya tentang kemenangannya, tetapi tentang kita semua yang berani melampaui batas. Bagi pembaca yang mencari model kepemimpinan yang disiplin, welas asih, dan bersemangat praktis, Greysia Polii menawarkan peta jalan sekaligus ajakan.
Photos: Adi Prawira





