Share
Mengapa Berita Palsu Mudah Dipercaya dan Beredar di Masyarakat
Rizka Putri Sonia
03 September 2020

Di tengah krisis pandemi, ada satu situasi lain yang tak kalah mengkhawatirkan, yakni infodemic.


Berdiri di tengah situasi penuh ketidakpastian membawa banyak dampak pada masyarakat, terutama pada aspek psikis. Kebingungan, ketidakpercayaan, frustrasi, rasa takut, serta hal-hal serupa lainnya banyak dialami oleh mayoritas masyarakat di dunia pada situasi krisis pandemi.

Keadaan seperti inilah yang kemudian melahirkan banyaknya misinformasi—terlebih teori-teori konspirasi—mengenai COVID-19 yang beredar di masyarakat. Tidak tersedianya informasi pasti terkait situasi yang belum pernah terjadi ini membuat berita tidak pasti dan tak berdasar mudah beredar di masyarakat.

Di era digital dan banjir informasi seperti saat ini, menemukan hal-hal yang tidak diekspektasi di internet bukan lagi hal mengejutkan. Mungkin beberapa dari kita tidak memercayai atau tidak dengan mudah percaya misinformasi “tak masuk akal” yang beredar. Namun, masih banyak orang yang terjatuh dalam lubang tersebut. Jadi, mengapa misinformasi begitu mudah dipercaya dan beredar di masyarakat?

Bias pemikiran negatif

Ada yang menyatakan bahwa ‘bad news is a good news’. Pada dasarnya, bias negatif pada pola pikir sebagian besar manusialah yang membuat informasi-informasi negatif lebih menarik dibandingkan informasi positif. Hal ini terlahir dari budaya turun-temurun. Pada zaman dahulu, orang-orang meningkatkan kewaspadaan pada sesuatu yang negatif untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi seperti hewan buas, musuh, dan lain sebagainya.

Sebuah penelitian dari University of Michigan, AS pada 2019 lalu menjadi bukti bahwa berita-berita negatif akan lebih mudah menarik perhatian masyarakat. Terlebih, kita masih kekurangan informasi pasti pada situasi pandemi saat ini.

Bahkan, dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa informasi negatif cenderung dianggap lebih kredibel dibandingkan informasi positif. Maka, masyarakat bukan saja menaruh atensi pada berita-berita negatif tersebut, namun juga lebih mempercayainya.

Rantai berita yang kian meluas

Bias negatif pada masyarakat dapat semakin menguat ketika informasi negatif tersebut dibagikan dan kian meluas. Sebuah studi berjudul “The amplification of risk in experimental diffusion chains” pada 2015 menggunakan metode rantai difusi untuk menguji cara informasi meluas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin luas berita tersebar, maka pesan yang tersampaikan menjadi semakin pendek dan tidak akurat. Bias individual dari tiap-tiap komunikator membuat bagian pesan yang tersampaikan relatif kian menghilang.

Lebih jauhnya, terdapat studi lanjutan pada tahun 2020 berjudul “Acurate stress reduces the social amplification of risk perception” menunjukkan bahwa efek rantai berita ini semakin kuat ketika masyarakat dalam keadaan stres; yang mana, situasi pandemi saat ini seolah begitu mendukung.

Rasa takut

Situasi sosial mempengaruhi kondisi psikis masyarakatnya. Keadaan krisis seperti bencana, pandemi, dan hal-hal lainnya dapat menimbulkan rasa takut pada masyarakat.

Robert D. Jagiello dan Thomas Hills pada tahun 2018 membuat sebuah eksperimen terkait persebaran informasi pada golongan orang yang memiliki rasa ketakutan tinggi dan rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa pesan yang diterima dan disampaikan oleh orang yang tengah merasa ketakutan cenderung kian negatif dan terpangkas dibanding kelompok yang berada pada tingkat ketakutan rendah.

Ketiadaan fakta pasti

Keadaan saat ini membuat masyarakat terpaksa harus berdiri di tengah ketidakpastian. Tidak ada informasi pasti terkait pandemi virus corona yang tengah menyerang dunia. Pada kasus ini, tidak ada oknum yang benar-benar dapat disalahkan. Situasi ini adalah situasi baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Para ilmuwan tengah berlomba-lomba untuk menemukan jawaban atas jutaan pertanyaan yang lahir terkait kondisi saat ini. Keadaan di mana fakta dan bukti terkait virus corona terus berganti membuat masyarakat bingung atau bahkan tidak lagi mempercayai eksperimen ilmiah yang masih berjalan.

Shallow Processing

Shallow processing merupakan cara seseorang memproses informasi yang pernah didapatinya. Semakin dalam seseorang mencerna dan menyaring informasi yang diterimanya, semakin mudah pula ia mengingat dan membandingkan informasi yang ia dapat dengan informasi lain yang pernah diterima.

Sayangnya, dalam hal ini, semakin sering misinformasi diulang dan disebutkan dengan yakin, semakin persuasif pula berita tersebut untuk dipercaya ketimbang bukti sains. Terlebih ketika seseorang tidak memproses lebih dalam informasi yang diterimanya.

Untuk menghadapi kebanjiran informasi dan misinformasi di masyarakat, perlu ada upaya untuk menciptakan budaya literasi yang sehat, dimulai dari tanda-tanda misinformasi. Kemampuan untuk mengetahui dasar pengecekan fakta dan bersikap kritis terhadap informasi dapat menjadi salah satu upaya untuk memerangi misinformasi. Jika Anda tidak yakin terhadap informasi yang didapat, maka berhenti membagikan informasi tersebut.